“Merahnya Merah” adalah salah satu novel krusial dalam sastra
Indonesia modern yang ditulis oleh Iwan Simatupang. Pertama kali diterbitkan pada tahun 1968, buku ini menjadi titik penting sastra eksistensialis Indonesia dan menandai pergeseran cara bercerita dari gaya konvensional ke pendekatan yang lebih filosofis dan reflektif.
Sebuah Cerita yang Penuh Simbol dan Pemikiran
Kisah Seorang Pelukis dan Pertarungan Identitas
Tokoh utama dalam novel ini adalah seorang pelukis tanpa nama, yang selama cerita berjuang untuk menemukan makna dan identitas dirinya di tengah masyarakat yang absurd dan penuh kontradiksi. Judul “Merahnya Merah” sendiri melambangkan kebenaran sejati yang tidak bisa diubah oleh penafsiran atau persepsi manusia.
Melalui perjalanan tokoh tersebut, pembaca diajak menelusuri kegelisahan batin, pemberontakan terhadap struktur sosial, serta pencarian jati diri yang sarat dengan refleksi filosofis. Cerita ini tidak memberikan plot yang linier, tetapi lebih mirip dengan potret psikologis dan kontemplasi hidup.
Eksistensialisme dalam Latar Indonesia
Iwan Simatupang berhasil menyelipkan semangat eksistensialisme ala Jean-Paul Sartre atau Albert Camus ke dalam konteks lokal Indonesia. Konflik batin dari tokoh mencerminkan kebingungan masyarakat pascakemerdekaan yang tengah mencari arah dan makna. Dalam novel ini, tidak ada yang benar atau salah secara mutlak—hanya ada pertanyaan dan penolakan terhadap kemapanan.
Gaya Penulisan yang Unik dan Menggugah
Bahasa yang Padat dan Sarat Makna
Berbeda dengan gaya penulisan novel populer yang naratif dan eksplisit, Merahnya Merah menggunakan bahasa yang padat, metaforis, dan penuh simbolisme. Setiap kalimat mengandung lapisan makna yang mengajak pembaca untuk merenung. Hal ini membuat novel ini tidak mudah dipahami dalam sekali baca, namun justru menjadi kekuatannya.
Struktur Cerita Non-Linear
Struktur cerita dalam Merahnya Merah cenderung tidak mengikuti urutan waktu yang lazim. Alur maju-mundur dan monolog batin tokoh mengharuskan pembaca aktif menyusun sendiri narasi di balik kata-kata. Ini memberi pengalaman membaca yang lebih mendalam dan menantang.
Warisan Sastra dan Relevansi Masa Kini
Novel Kritis terhadap Norma Sosial
Selain sebagai karya sastra, Merahnya Merah juga merupakan kritik sosial yang tajam terhadap kemunafikan, penindasan, dan kebingungan identitas pascakolonial. Novel ini mengungkap lapisan-lapisan kepalsuan yang melekat pada masyarakat dengan cara yang elegan namun menyengat.
Masih Relevan hingga Kini
Meskipun ditulis puluhan tahun yang lalu, pesan-pesan dalam Merahnya Merah tetap relevan di zaman sekarang. Pencarian jati diri, kritik terhadap kepalsuan hidup, dan dorongan untuk menjalani hidup secara autentik adalah tema-tema yang tak lekang oleh waktu.